Minahasa, Maesaanwayanews.com – Proyek air bersih dalam Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS), di Desa Wasian, Kecamatan Kakas Barat, yang menyedot anggaran sekira Rp400 juta, diduga kuat terjadi praktek korupsi.
Hal tersebut mencuat setelah didapati keran-keran mati, air bau, dan kekecewaan masyarakat. Sorotan tajam datang dari praktisi hukum, Stevard Barama, SH, yang menyebut proyek ini berpotensi kuat dikendalikan oleh jaringan korupsi.
“Ini bukan pembangunan, tapi pembohongan publik! Uang rakyat digerus untuk proyek tanpa manfaat,” beber Barama tanpa basa-basi, Rabu (02/07/2025).
Menurut pengacara yang dikenal vokal ini, proyek yang sejatinya dibentuk untuk menjawab kebutuhan dasar masyarakat malah berubah menjadi monumen pemborosan, ketidakpedulian, dan simbol kegagalan pemerintahan desa dalam mengawasi anggaran publik.
“Keran-keran kering, pipa-pipa kosong, dan bak berlumut itu bukan sekadar barang rongsokan. Itu bukti nyata bahwa rakyat dibohongi dan negara dirugikan,” lanjut Barama.
Barama mengangkat satu pertanyaan besar yang mengguncang logika publik.
“Kalau rakyat tak menikmati air bersih, siapa yang sebenarnya diuntungkan dari proyek ini?,” sebutnya.
Ia mendesak kejaksaan dan kepolisian segera turun dan membongkar aroma busuk yang diduga menyelimuti proyek tersebut. Menurutnya, ini bukan soal gagal teknis, tapi indikasi kuat adanya permainan kotor dan penyimpangan anggaran.
“Jangan lagi ada impunitas terhadap maling-maling berseragam pembangunan. Seret mereka ke pengadilan,” tegasnya.
Ironis, proyek ini sebelumnya sempat dipuji-puji dan dianugerahi sebagai pembangunan fisik terbaik di Sulawesi Utara. Namun setelah selesai dibangun dan diuji coba selama empat bulan, tak ada satu pun warga yang mau jadi pelanggan, meskipun hanya dikenai iuran Rp15.000 per bulan.
“Kami hentikan operasional karena tidak ada warga yang mendaftar. Dana listrik dan perawatan tidak disokong,” aku Steven, pengurus proyek.
Setelah dua bulan nonaktif kata Steven, hasil uji laboratorium mengungkap fakta memalukan: air keruh, berbau busuk, dan tidak layak konsumsi. Kini, fasilitas yang menghabiskan ratusan juta itu hanya dimanfaatkan segelintir pedagang untuk mencuci daging di pinggir jalan.
Pengurus PAMSIMAS mengklaim sudah berupaya memperbaiki kualitas air, mulai dari penyaringan manual, pengeboran ulang, hingga bantuan mahasiswa KKN Unsrat. Namun, semua mentok tanpa hasil.
Mereka berdalih bahwa air tanah di wilayah tersebut sudah tercemar. Tapi warga punya cerita berbeda. Menurut mereka, air memang sudah berbau sejak pertama kali keluar dari keran.
“Air seperti itu mau dibayar? Kami bukan orang bodoh. Dari awal sudah jelas itu proyek gagal!” ujar salah satu warga dengan nada kesal.
Pengurus berdalih dana Rp400 juta terbagi dalam bentuk cash dan swadaya, termasuk kerja bakti, sumbangan bambu, dan gaji harian. Dana juga disebut digunakan untuk sosialisasi di sekolah, Puskesmas, dan rumah Hukum Tua, hingga pembuatan wastafel dan promosi pola hidup bersih. Namun faktanya, air bersih yang dijanjikan tak kunjung mengalir.
“Kami hanya pengawas. Semua pekerjaan dan material ditangani oleh pihak ketiga berdasarkan arahan dari PAMSIMAS Kabupaten,” elak pengurus.
Kini, proyek PAMSIMAS Wasian menjadi saksi bisu kehancuran harapan rakyat. Program yang katanya “berniat baik” justru menjelma menjadi kuburan anggaran negara. Dan suara tegas dari praktisi hukum seperti Stevard Barama membuka jalan untuk penyelidikan yang lebih luas.
“Jangan tunggu rakyat turun ke jalan. Tindak sekarang sebelum kepercayaan publik makin hancur,” tutup Barama dengan peringatan keras.